Terhitung sudah hampir puluhan kali saya mengatakan kepada pria ini kalau saya menyukainya, saya menyayanginya. Tapi ibarat mikro partikel debu di jalanan, pengakuan saya ini jadi seperti guyonan yang tidak sampai melukai retina matanya. Sia-sia.
Semua yang saya katakan jadi seperti ocehan anak berumur 10 bulan yang bercecer air liur tanpa ada yang paham maksudnya. Kenapa susah sekali menunjukkan kepada orang lain kalau kita mencintai mereka. Kalau saya bisa menuliskannya ribuan kali di kertas saya bisa menghabiskan banyak sekali kertas kosong tapi sayang tidak ada yang mau membacanya.
Saya mengaduk tanpa ada maksud cangkir saya yang masih berisi gula. Bahkan untuk menuangkan cairan teh yang masih anteng di dalam teko saya malas bukan main. Saya menggerutu dalam hati kenapa restoran ini tidak langsung menuangkan tehnya ke dalam gelas saja. Kenapa harus saya, seorang pembeli yang adalah raja malah harus menuangkan sendiri air teh tersebut. Apa tidak cukup isi hati saya yang berserakan di pelupuk mata karena patah hati semalam.
"ah, menyebalkan!"
Saya menggerutu seenaknya karena merasa tidak akan ada yang mendengar, tapi ternyata tanpa saya perhatikan seorang pria yang saya kenal wanginya sudah duduk anteng dihadapan saya.
Terkejut bukan main, harusnya tidak ada siapa-siapa yang tahu saya sedang disini merayakan sakit hati sendirian. Kenapa harus ada tamu.
"Bim! ngapain disini?" Wajah tidak senangku pasti kentara sekali terlihat, saya memang tidak suka ada yang merusak 'pesta' saya.
Pria ini bukan dalang dari sakit hati saya hari ini, tapi tetap saja, pria ini tidak seharusnya diundang dengan terhormat di sebuah 'pesta', meskipun hanya pesta pesakitan yang patah hati. Pria ini hanya memakai kaos oblong yang menyembunyikan badan kurusnya, celana jins, dan sepatu sneaker biasa. Dari pakaiannya sepertinya dia memang tidak sedang datang untuk merayakan pesta.
"Katanya kamu disini, kia. Makanya aku kesini"
Siapa? Siapa? Siapa yang licik membocorkan dimana saya berada? Dia harus diberi pelajaran, sampai saya ingat satu-satunya yang tahu saya sedang disini adalah saya sendiri. Tidak ada yang tahu.
"When you love someone, you just give the power to someone to influence your happiness, you're also giving the gun to kill that happiness" teman baik saya ini tiba-tiba mengucapkan sebuah kalimat yang dengan percaya diri diucapkan seakan-akan ingin menjawab isi hati saya.
"..."
"Saya beri kamu senjata saya. Kalau saya lupa cara menyayangi kamu, bunuh saya dengan senjata yang saya berikan, tapi selalu beri saya pelukan sebelum kamu membunuh saya agar saya ingat kembali cara menyayangi kamu"
Apaa-apaan ini, apa maksud pria ini?
"I love you, for God sake Kia for a long time ago. Please realize. Wake up!"
Saya tidak tahu harus berkata apa, pria ini yang sudah saya kenal dari 5 tahun lalu ini, selalu memasang muka manis ketika saya bercerita tentang proses saya jatuh cinta sampai akhirnya selalu patah hati. Pria ini yang tidak lupa memberi saya kejutan kecil yang saya kira hanya untuk menghibur saya yang sedang bermasalah. Pria ini yang setiap ulang tahun saya tidak pernah absen untuk membangunkan saya ditengah malam dan memaksa saya berdoa lalu bernyanyi riang dihadapan bintang. Saya tidak pernah lupa caranya berbahagia di samping pria ini.
Pria ini yang selalu ada.
Pria ini yang sekarang sedang menuangkan air teh untuk saya minum agar saya bisa menghilangkan kata-kata yang tersumbat ditenggorokan sedari tadi. Kata-kata yang tidak bisa saya ucapkan sedikitpun. Hanya sebait lagu dari restoran yang terdengar keras di sela-sela detak jantung saya yang tidak beraturan iramanya.
~ secangkir teh yang hangat, kau tuangkan untukku. Datang dari hatimu, datang dari cintamu, datang dari dirimu, untukkuuuu ~
Cerita fiksi ini diciptakan semata-mata hanya karena penulis sedang kecanduan sebuah lagu sederhana tapi bermakna dari 'Rieka Roeslan feat. Nino RAN' yang berjudul 'kopi dan teh'.
Sesuatu yang sederhana tapi bermakna memang kadang sering dilupakan, tapi itu yang menyelamatkan saya dari patah hati ketika harapan jadi terlalu tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar