"I use the Pensieve. One simply siphons the excess thoughts from one's mind, pours them into the basin, and examines them at one's leisure. It becomes easier to spot patterns and links. You understand, when they are in this form." Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore. SO, WELCOME TO MY PENSIEVE!
Rabu, 18 Juni 2014
Senyum Bocah
Kaki kecil itu terlalu hitam dan keras untuk berjalan sendirian di panasnya aspal tanpa alas sekelas sandal jepit. Tangannya yang menggenggam recehan masih menyisakan tiga sampai empat eksemplar koran yang tidak laku terjual pagi hari tadi.
Sedangkan,
saya sedang dalam masalah besar hari ini, saya yakin ini sengketa alam yang berusaha membuat saya menjadi wanita menyebalkan dan pemarah. Bagaimana tidak, banyak pekerjaan anak buah yang tidak selesai seperti perintah saya. Seakan bos ikut berkonspirasi membuat saya semakin muak berdiam diri di dalam kantor. Sejenak ingin keluar dengan alasan makan siang.
Kuku-kuku yang menghitam itu seakan malu untuk mengetuk kaca mobil yang mulus itu hanya untuk menawarkan sisa korannya yang lecek. Tapi apa boleh buat, perutnya bergemuruh kelaparan minta di isi seadanya. Sudah dari kemarin isinya hanya air, pantas kalau sekarang perutnya berdemo riuh minta diperhatikan.
"koran, mbak"
Saya kaget bukan main, padahal hanya suara ketukan kecil di kaca mobil. Sudah hampir marah saja rasanya, saya buka kaca jendela dan ingin segera menyemburkan nafas api ke biangnya suara.
Bukan siapa-siapa memang, tapi sepersekian detik setelah saya melihatnya, saya jatuh hati, saya jadi seperti bara api yang disiram air bunga. Saya tenang seketika.
Bocah laki-laki kecil ini berusaha melebarkan senyumnya didepan setiap orang, setidaknya dengan begitu orang juga merasa ingin tersenyum, bocah ini tidak mau orang yang melihatnya merasa iba atau kasihan karena dia memasang wajah memelas. Padahal ingin sekali bocah ini menyengir lebar karena perutnya yang melilit memprotesnya karena butuh nasi yang bisa dicerna.
Saya melihat sebuah senyum yang tulus dan ikhlas. Saya pernah melihat ribuan senyum dibuat-buat didepan saya. Tapi yang ini lain, senyumnya yang sejuk bisa mengalahkan angin pantai yang sudah saya rencana-kan akhir bulan ini di hawai. Tiba-tiba saya tidak butuh hawai, saya bahkan lupa dimana tiket pesawat yang sudah saya beli dari 5 bulan lalu. Tapi senyum bocah ini bisa menggantinya.
Buru-buru saya cari uang kertas yang tersisa di dalam tas. Saya hanya menemukan uang 20.000-an. Sambil melihat waktu berjalan di lampu merah yang masih di angka 80, saya membalas senyum bocah kurus ini dan memberikan uang yang saya temukan di tas.
"tidak pakai sandal?" saya bertanya.
Si bocah melihat kakinya malu-malu, tetap dengan senyumnya yang lebar. Karena diingatkan seperti ini, kaki si bocah terlihat berjingkat karena baru sadar kakinya kepanasan sedari tadi.
"Korannya" bocah ini mencoba mengalihkan perhatian saya dari kakinya.
"Kenapa tidak pakai sandal?" saya mengulangi pertanyaan.
"Kaki saya kuat kok, mbak" si bocah itu lagi-lagi tersenyum sambil melompat-lompat karena baru sadar kalau aspal hari ini sedang dihajar mati-matian oleh matahari.
"kembaliannya"
"ambil saja"
Si bocah memberi saya senyuman terlebar yang bisa dia ciptakan. Lalu mencelat pergi menuju pohon-pohon yang bayangannya mampu mendinginkan telapak kakinya yang terlanjur kepanasan.
Saya dikagetkan lagi oleh bunyi klakson dari pengemudi yang marah dibelakang mobil saya karena lampu lalu lintas sudah hijau dari tadi.
Saya diajarkan banyak hal dari bocah kecil tadi. Bukan waktu yang lama untuk belajar pada umumnya, hanya 80 detik dari bocah yang kurus kering, dahi dan leher yang menghitam karena daki, jari-jari mungil yang kuku-kukunya sedikit kotor, dan kaki yang kuat kesana kemari tanpa alas.
Bagaimana mungkin bocah ini memuji kakinya kuat sementara dia berjingkat-jingkat kegelian setelah diingatkan.
Memang, bersyukur bukan hal yang sulit tapi tidak banyak yang bisa melakukannya seketika itu dan setiap waktu. Bersyukur atas apa yang kita miliki dan tetap bersyukur atas apa yang tidak kita miliki.
Saya diingatkan bocah ini untuk tersenyum lebar pada siapapun, pada situasi Tuhan, dan terutama pada diri sendiri.
Bocah ini membawa berlembar-lembar koran sedangkan saya membawa berlembar-lembar berkas penting kontrak dengan perusahaan besar.
Bocah ini tidak memakai alas kaki sedangkan saya memakai berbagai jenis sepatu bernama yang setiap harinya bisa berganti sesuai warna pakaian.
Bocah ini bisa bersyukur dan memuji kakinya kuat padahal untuk membeli air bersih saja mungkin kesulitan apalagi sandal.
Saya kembali ke kantor, dan tersenyum pada semua orang.
Saya masuk ke dalam ruangan, dan tersenyum pada diri sendiri.
"hati saya kuat, otak saya kuat, Lila kuat kok"
Saya kembali bekerja sambil berjanji untuk kembali ke bocah tadi membawa sepasang sandal dan makanan. Sudah tidak sabar rasanya belajar lagi dari bocah 'si kaki kuat'.
Label:
10 Little Toes,
Fiksi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar