Rabu, 30 Juli 2014

Happy Ied Mubarak, everyone!



Masih dalam rangka Hari Raya Idul Fitri. Ketupat jadi makanan utama, memaafkan jadi perbincangan utama dalam minggu ini.

Saya sendiri bukan anak dewa atau anak setengah Tuhan, jadi memaafkan bukan pekerjaan mudah bagi saya, tapi tidak saling menyakiti bisa sangat berarti untuk beberapa orang.

Rasanya lelah basa-basi saling memaafkan yang tidak cukup dalam sehari dua hari.
Bukan karena tidak mampu memaafkan tapi bagaimana sebenarnya dari lubuk hati saya yg paling dalam tidak terima kenapa harus ada kata maaf ketika masih saling menyakiti.
Terkadang ada rasa jengah ketika harus memberi maaf pada orang yang paling menyakiti kita.

Sebenarnya apa makna dibalik kata maaf?
Maaf bukan hanya kata, sekilas mirip udara sekali lewat, tapi ketika diterima bisa seperti jingga yang merindukan sore. Tenang. Baik ketika dimaafkan atau memaafkan.

Karena saya bukan orang suci yang hidup tanpa salah, meminta maaf sudah tidak terhitung berapa jumlahnya. Tapi justru karena saya manusia biasa rasanya tidak gampang memaafkan.

Bukan tanpa maksud Tuhan menciptakan hari suci ini, untuk saling memaafkan dan meminta maaf.
Semoga kata maaf bukan hanya kucuran kata yang keluar begitu saja karena tidak sengaja menyakiti. Tapi maaf bisa menjadi pengobat sakit hati ketika waktu tidak bisa mengurangi rasa sakit.

Once again, selamat hari raya idul fitri, saya haturkan maaf dari dalam hati atas kata dan perbuatan yang tidak sengaja diujarkan. Saya haturkan maaf atas segala sakit hati yang tidak berkenan.

Rabu, 23 Juli 2014

I know it!


One day,

when i wake up at 3am,
unable to sleep,
i will look next to me,
and you will be there
sleeping peacefully beside me
and suddenly,
the world won't seem so lonely.

(source: constantneverland via tumblr)

Garden


So plant your own gardens
and decorate your own soul,
instead of waiting
for someone to bring you flowers.

(Source: J. L. Borges Via Tumblr)

Insignificant



I don’t want to be
your entire world, no.

I would be happy
just to be your morning coffee,
your hanging car keys,
your wallet.

Something seemingly
insignificant,
but if lost throws off your entire day.


(Source: lucyquin via Tumblr)

Sabtu, 12 Juli 2014

Dunia Kami Lain!

Image Source: http://journals.worldnomads.com/akoayinhinyero/photo/38556/930209/Philippines/These-two-kids-are-from-our-barangay-and-they-are-motherless-already-Big-siste#axzz37Ekd1VDL

Matahari yang tak pernah lengah terus berusaha membuat kulitku terbakar padahal sekarang yang tersisa dari kulitku hanya peluh dan daki yang terus menghitam menutupi kulitku yang legam, rambutku yang kusut kuikat dengan karet seadanya yang kutemukan di jalanan. Hanya satu hal yang membuatku merasa mampu mengalahkan matahari dan berjalan tanpa beban adalah salju-ku. Salju yang kini tengah tertidur dengan wajah tak berdosanya di punggungku, terikat kain yang sudah berwarna kusam dan penuh kotoran hitam. 

Bocah laki-laki itu bernama Didit, adik-ku yang kini berumur 2 tahun 2 bulan sedang memeluk leherku dan wajah malaikatnya tertunduk di bahuku meneteskan air liur di lengan bajuku. Wajahnya juga tidak beda jauh dariku, hitam karena daki, rambut kusut dan berwarna kemerahan karena matahari, pipinya yang gembul penuh dengan debu yang menghitam. Aku menyayanginya lebih dari apapun di dunia ini, karena cuma dia harta yang aku punya selain rumah kardus, selimut robek, bajuku yang mirip kain pel dan sandal jepit yang aku ikat dengan tali disana-sini agar tidak rusak untuk yang kesekian kalinya. 

Aku sendiri berumur dua belas tahun, baru saja kemarin aku merayakannya bersama adikku tersayang, Didit, di bawah pohon randu besar yang letaknya dekat rumah kardus kami. Kami makan malam dengan satu buah pisang goreng yang kami temukan terjatuh di samping rombong penjual gorengan. Makanan ini cukup mewah untuk kami dibandingkan dengan makanan kami sehari-hari yang hanya kerupuk, itu pun jika kami punya uang lebih membeli kerupuk yang masih bagus biasanya jika uang kami kurang kami hanya memakan kerupuk yang sudah basi yang sudah tidak bisa digigit. Dihadapan makan malam kami yang mewah ini aku dan Didit mengucapkan do'a yang selalu kami panjatkan sebelum makan.

"Terimakasih untuk makanan mewah ini Tuhan, makanan yang Kau kirimkan sebagai hadiah ulang tahun ku yang ke dua belas. Semoga makanan kami malam ini mendapatkan berkah dan hidayah-Mu. Aminnnnnn". 

Pisang goreng yang lumayan besar itu cukup mengundang selera makan kami, bahkan Didit berulangkali berusaha meraihnya dari tanganku.

"Mbak Melly tiup lilin dulu ya Dit, biar kayak di tipi-tipi itu loh Dit, nanti mbak mau buat permohonan dulu, baru pisang gorengnya dimakan bareng-bareng yah?!"

Aku memejamkan mataku berusaha membayangkan pisang goreng tersebut adalah kue tart besar yang berwarna-warni dan ada dua belas lilin menyala di atas kue tersebut.

"fuuuhhh!"

Aku membuka mata dan melihat Didit duduk manis dihadapanku menatapku lama dan merangkak ke arahku berusaha untuk memeluk leherku dan aku mendengarnya berbisik di telingaku.

"Mmm...eeee...iii"

Mataku berkaca-kaca mendengar Didit mengucapkan kata pertamanya dan itu adalah namaku meskipun kurang huruf "L" ditengahnya, tapi ini adalah kado terindah yang pernah aku dapatkan. Akhirnya yang memakan pisang goreng itu hanya Didit karena dia butuh gizi yang lebih banyak, sedangkan aku cukup meminum air putih saja sambil melihat adikku memakan dengan lahap pisang goreng yang aku temukan tadi sore. Bagiku itu sudah membuatku sangat kenyang, kenyang akan kebahagiaan.

Esoknya kami kembali berjalan menuju rumah bu Sri yang sudah dua tahun ini mau memberi kami pekerjaan meskipun dia sendiri hanya janda dengan lima orang anak dan seorang buruh cuci, tapi hatinya baik sekali mau memberi kami pekerjaan meskipun dia sendiri adalah orang yang kekurangan. Tugasku dirumahnya hanya menjaga lima orang anaknya yang masih kecil-kecil agar tidak berkeliaran di luar rumah sampai bu Sri pulang, aku hanya dibayar air minum bersih dan sebotol susu untuk Didit perhari. Satu hal kenapa aku mau bekerja di rumah bu Sri karena aku paling pantang meminta uang atau mengemis di jalanan seperti kebanyakan anak-anak seumurku yang tinggal di dekat rumahku. Aku merasa malu harus menggunakan adikku sebagai penarik iba dan rasa kasihan dari orang lain. Setidaknya dengan bekerja di rumah bu Sri, adikku bisa tidur di lantai yang dingin dan minum susu botol sebagai imbalan kami menjaga rumah bu Sri. Kami kembali ke rumah pukul satu siang menuju rumah kardus kami tercinta. 

Kami melewati sebuah toko elektronik yang menjual banyak sekali televisi yang menayangkan gambar berwarna-warni, aku berhenti sebentar di depan salah satu televisi yang dipasang menghadap keluar sehingga kami bisa melihat gambar televisi itu tanpa perlu masuk ke dalam toko elektronik tersebut. Didit terlihat tertarik dengan salah satu televisi yang menayangkan gambar anak perempuan yang sangat cantik sedang bermanja-manja dengan ayahnya yang akan berangkat ke kantor, gadis itu merengek-rengek minta mobil pada ayahnya.

"Apaaaa?!! minta mobil?? ckckckck" Aku berdecak iri sementara Didit terus berusaha menyentuh televisi tersebut.

"Kata temen mbak yang punya tipi, itu namanya sinetron Dit. Itu dunianya orang kaya, beda sama dunia kita, jadi jangan sering-sering nonton sinetron nanti kamu jadi pemimpi yang bisanya cuma berkhayal dan bermimpi tanpa usaha".

Aku melanjutkan perjalanan ke rumah sementara Didit terus merengek minta kembali ke tempat televisi tadi.

"Sudahlah Dit, dunia kita lain sama dunia yang ada di tipi itu. Jangan mimpi kamu! Ayo kita pulang ke dunia kita ya sayang".

Dan Didit menangis. 




==========================================================================

Cerpen diatas adalah cerpen saya yang pernah di muat di media "Jawa Pos" Surabaya, pada Senin, 31 Mei 2010. Sudah 4 tahun yang lalu. Time flies!

"I Love You, for God Sake!"


Terhitung sudah hampir puluhan kali saya mengatakan kepada pria ini kalau saya menyukainya, saya menyayanginya. Tapi ibarat mikro partikel debu di jalanan, pengakuan saya ini jadi seperti guyonan yang tidak sampai melukai retina matanya. Sia-sia.

Semua yang saya katakan jadi seperti ocehan anak berumur 10 bulan yang bercecer air liur tanpa ada yang paham maksudnya. Kenapa susah sekali menunjukkan kepada orang lain kalau kita mencintai mereka. Kalau saya bisa menuliskannya ribuan kali di kertas saya bisa menghabiskan banyak sekali kertas kosong tapi sayang tidak ada yang mau membacanya.

Saya mengaduk tanpa ada maksud cangkir saya yang masih berisi gula. Bahkan untuk menuangkan cairan teh yang masih anteng di dalam teko saya malas bukan main. Saya menggerutu dalam hati kenapa restoran ini tidak langsung menuangkan tehnya ke dalam gelas saja. Kenapa harus saya, seorang pembeli yang adalah raja malah harus menuangkan sendiri air teh tersebut. Apa tidak cukup isi hati saya yang berserakan di pelupuk mata karena patah hati semalam.

"ah, menyebalkan!"

Saya menggerutu seenaknya karena merasa tidak akan ada yang mendengar, tapi ternyata tanpa saya perhatikan seorang pria yang saya kenal wanginya sudah duduk anteng dihadapan saya.
Terkejut bukan main, harusnya tidak ada siapa-siapa yang tahu saya sedang disini merayakan sakit hati sendirian. Kenapa harus ada tamu.

"Bim! ngapain disini?" Wajah tidak senangku pasti kentara sekali terlihat, saya memang tidak suka ada yang merusak 'pesta' saya.

Pria ini bukan dalang dari sakit hati saya hari ini, tapi tetap saja, pria ini tidak seharusnya diundang dengan terhormat di sebuah 'pesta', meskipun hanya pesta pesakitan yang patah hati. Pria ini hanya memakai kaos oblong yang menyembunyikan badan kurusnya, celana jins, dan sepatu sneaker biasa. Dari pakaiannya sepertinya dia memang tidak sedang datang untuk merayakan pesta.

"Katanya kamu disini, kia. Makanya aku kesini"

Siapa? Siapa? Siapa yang licik membocorkan dimana saya berada? Dia harus diberi pelajaran, sampai saya ingat satu-satunya yang tahu saya sedang disini adalah saya sendiri. Tidak ada yang tahu.

"When you love someone, you just give the power to someone to influence your happiness, you're also giving the gun to kill that happiness" teman baik saya ini tiba-tiba mengucapkan sebuah kalimat yang dengan percaya diri diucapkan seakan-akan ingin menjawab isi hati saya.

"..."

"Saya beri kamu senjata saya. Kalau saya lupa cara menyayangi kamu, bunuh saya dengan senjata yang saya berikan, tapi selalu beri saya pelukan sebelum kamu membunuh saya agar saya ingat kembali cara menyayangi kamu"

Apaa-apaan ini, apa maksud pria ini?

"I love you, for God sake Kia for a long time ago. Please realize. Wake up!"

Saya tidak tahu harus berkata apa, pria ini yang sudah saya kenal dari 5 tahun lalu ini, selalu memasang muka manis ketika saya bercerita tentang proses saya jatuh cinta sampai akhirnya selalu patah hati. Pria ini yang tidak lupa memberi saya kejutan kecil yang saya kira hanya untuk menghibur saya yang sedang bermasalah. Pria ini yang setiap ulang tahun saya tidak pernah absen untuk membangunkan saya ditengah malam dan memaksa saya berdoa lalu bernyanyi riang dihadapan bintang. Saya tidak pernah lupa caranya berbahagia di samping pria ini.

Pria ini yang selalu ada.

Pria ini yang sekarang sedang menuangkan air teh untuk saya minum agar saya bisa menghilangkan kata-kata yang tersumbat ditenggorokan sedari tadi. Kata-kata yang tidak bisa saya ucapkan sedikitpun. Hanya sebait lagu dari restoran yang terdengar keras di sela-sela detak jantung saya yang tidak beraturan iramanya.



~ secangkir teh yang hangat, kau tuangkan untukku. Datang dari hatimu, datang dari cintamu, datang dari dirimu, untukkuuuu ~



Cerita fiksi ini diciptakan semata-mata hanya karena penulis sedang kecanduan sebuah lagu sederhana tapi bermakna dari 'Rieka Roeslan feat. Nino RAN' yang berjudul 'kopi dan teh'.

Sesuatu yang sederhana tapi bermakna memang kadang sering dilupakan, tapi itu yang menyelamatkan saya dari patah hati ketika harapan jadi terlalu tinggi.