|
Image Source: http://journals.worldnomads.com/akoayinhinyero/photo/38556/930209/Philippines/These-two-kids-are-from-our-barangay-and-they-are-motherless-already-Big-siste#axzz37Ekd1VDL |
Matahari yang tak pernah lengah terus berusaha membuat kulitku terbakar padahal sekarang yang tersisa dari kulitku hanya peluh dan daki yang terus menghitam menutupi kulitku yang legam, rambutku yang kusut kuikat dengan karet seadanya yang kutemukan di jalanan. Hanya satu hal yang membuatku merasa mampu mengalahkan matahari dan berjalan tanpa beban adalah salju-ku. Salju yang kini tengah tertidur dengan wajah tak berdosanya di punggungku, terikat kain yang sudah berwarna kusam dan penuh kotoran hitam.
Bocah laki-laki itu bernama Didit, adik-ku yang kini berumur 2 tahun 2 bulan sedang memeluk leherku dan wajah malaikatnya tertunduk di bahuku meneteskan air liur di lengan bajuku. Wajahnya juga tidak beda jauh dariku, hitam karena daki, rambut kusut dan berwarna kemerahan karena matahari, pipinya yang gembul penuh dengan debu yang menghitam. Aku menyayanginya lebih dari apapun di dunia ini, karena cuma dia harta yang aku punya selain rumah kardus, selimut robek, bajuku yang mirip kain pel dan sandal jepit yang aku ikat dengan tali disana-sini agar tidak rusak untuk yang kesekian kalinya.
Aku sendiri berumur dua belas tahun, baru saja kemarin aku merayakannya bersama adikku tersayang, Didit, di bawah pohon randu besar yang letaknya dekat rumah kardus kami. Kami makan malam dengan satu buah pisang goreng yang kami temukan terjatuh di samping rombong penjual gorengan. Makanan ini cukup mewah untuk kami dibandingkan dengan makanan kami sehari-hari yang hanya kerupuk, itu pun jika kami punya uang lebih membeli kerupuk yang masih bagus biasanya jika uang kami kurang kami hanya memakan kerupuk yang sudah basi yang sudah tidak bisa digigit. Dihadapan makan malam kami yang mewah ini aku dan Didit mengucapkan do'a yang selalu kami panjatkan sebelum makan.
"Terimakasih untuk makanan mewah ini Tuhan, makanan yang Kau kirimkan sebagai hadiah ulang tahun ku yang ke dua belas. Semoga makanan kami malam ini mendapatkan berkah dan hidayah-Mu. Aminnnnnn".
Pisang goreng yang lumayan besar itu cukup mengundang selera makan kami, bahkan Didit berulangkali berusaha meraihnya dari tanganku.
"Mbak Melly tiup lilin dulu ya Dit, biar kayak di tipi-tipi itu loh Dit, nanti mbak mau buat permohonan dulu, baru pisang gorengnya dimakan bareng-bareng yah?!"
Aku memejamkan mataku berusaha membayangkan pisang goreng tersebut adalah kue tart besar yang berwarna-warni dan ada dua belas lilin menyala di atas kue tersebut.
"fuuuhhh!"
Aku membuka mata dan melihat Didit duduk manis dihadapanku menatapku lama dan merangkak ke arahku berusaha untuk memeluk leherku dan aku mendengarnya berbisik di telingaku.
"Mmm...eeee...iii"
Mataku berkaca-kaca mendengar Didit mengucapkan kata pertamanya dan itu adalah namaku meskipun kurang huruf "L" ditengahnya, tapi ini adalah kado terindah yang pernah aku dapatkan. Akhirnya yang memakan pisang goreng itu hanya Didit karena dia butuh gizi yang lebih banyak, sedangkan aku cukup meminum air putih saja sambil melihat adikku memakan dengan lahap pisang goreng yang aku temukan tadi sore. Bagiku itu sudah membuatku sangat kenyang, kenyang akan kebahagiaan.
Esoknya kami kembali berjalan menuju rumah bu Sri yang sudah dua tahun ini mau memberi kami pekerjaan meskipun dia sendiri hanya janda dengan lima orang anak dan seorang buruh cuci, tapi hatinya baik sekali mau memberi kami pekerjaan meskipun dia sendiri adalah orang yang kekurangan. Tugasku dirumahnya hanya menjaga lima orang anaknya yang masih kecil-kecil agar tidak berkeliaran di luar rumah sampai bu Sri pulang, aku hanya dibayar air minum bersih dan sebotol susu untuk Didit perhari. Satu hal kenapa aku mau bekerja di rumah bu Sri karena aku paling pantang meminta uang atau mengemis di jalanan seperti kebanyakan anak-anak seumurku yang tinggal di dekat rumahku. Aku merasa malu harus menggunakan adikku sebagai penarik iba dan rasa kasihan dari orang lain. Setidaknya dengan bekerja di rumah bu Sri, adikku bisa tidur di lantai yang dingin dan minum susu botol sebagai imbalan kami menjaga rumah bu Sri. Kami kembali ke rumah pukul satu siang menuju rumah kardus kami tercinta.
Kami melewati sebuah toko elektronik yang menjual banyak sekali televisi yang menayangkan gambar berwarna-warni, aku berhenti sebentar di depan salah satu televisi yang dipasang menghadap keluar sehingga kami bisa melihat gambar televisi itu tanpa perlu masuk ke dalam toko elektronik tersebut. Didit terlihat tertarik dengan salah satu televisi yang menayangkan gambar anak perempuan yang sangat cantik sedang bermanja-manja dengan ayahnya yang akan berangkat ke kantor, gadis itu merengek-rengek minta mobil pada ayahnya.
"Apaaaa?!! minta mobil?? ckckckck" Aku berdecak iri sementara Didit terus berusaha menyentuh televisi tersebut.
"Kata temen mbak yang punya tipi, itu namanya sinetron Dit. Itu dunianya orang kaya, beda sama dunia kita, jadi jangan sering-sering nonton sinetron nanti kamu jadi pemimpi yang bisanya cuma berkhayal dan bermimpi tanpa usaha".
Aku melanjutkan perjalanan ke rumah sementara Didit terus merengek minta kembali ke tempat televisi tadi.
"Sudahlah Dit, dunia kita lain sama dunia yang ada di tipi itu. Jangan mimpi kamu! Ayo kita pulang ke dunia kita ya sayang".
Dan Didit menangis.
==========================================================================
Cerpen diatas adalah cerpen saya yang pernah di muat di media "Jawa Pos" Surabaya, pada Senin, 31 Mei 2010. Sudah 4 tahun yang lalu. Time flies!