Sabtu, 13 Februari 2016

"SWEET"

Picture Source: www.lovethispic.com


Saya iri sekali melihat banyak anak kecil dengan gigi kecil mereka dengan rakus menggerogoti permen atau arum manis seharga seribu dua ribu dalam sekali membuka mulut. Mereka tidak takut kehilangan satu persatu gigi susu mereka keesokan harinya. Memakan manisan dengan kalap seakan besok akan kiamat atau besok diomeli habis-habisan oleh mama mereka. Apa bocah-bocah itu tidak pernah membaca penelitian kalau rasa manis yang kita kecap nantinya bisa berubah menjadi rasa pahit jika kita terlalu banyak mencicipnya.

Rasanya ingin sekali saya merebut manisan permen yang ada di tangan mereka satu persatu dan menyimpannya untuk saya sendiri. Kusimpan baik-baik di dalam kotak baja yang kuncinya hanya saya yang menyimpan dan tidak ada yang bisa membukanya. Mungkin saya hanya iri pada anak-anak itu, saya iri karena anak kecil itu memiliki konsep sederhana tentang 'manis' yang tidak serumit saya memikirkan konsep 'manis'. Manis milik mereka berbeda dengan manis milik saya.

Duduk di kursi halte menunggu bus yang didalamnya selalu berbau apek membuat saya  memikirkan banyak hal. Di depan halte tempat saya menunggu, ada pemandangan sebuah Sekolah Dasar yang memiliki ratusan manusia berukuran mini yang berteriak sekencang-kencangnya dan berlarian kesana kemari.

Seharusnya saya datang lebih awal di halte bus sialan ini agar tidak berbarengan dengan jam istirahat anak SD yg tepat berseberangan dengan halte. Dengan begitu saya tidak merasa iri dengan anak-anak kecil yang sebebas tupai loncat itu.

Perkiraan baru akan ada bus selanjutnya 58 menit lagi, jadi saya memutuskan untuk menyebrang dan membeli beberapa arum manis dan permen. Saya berani taruhan kalau menurut penelitian permen adalah penyebab utama kerontokan gigi pada anak-anak. Dengan harapan gigi saya sudah lebih kuat dan berakar, jadi tidak mungkin terkikis begitu saja oleh permen-permen ini.

"Arum manisnya 1, sama permen-permen ini sebungkus ya bang"

Si penjual yang saya panggil abang, mendongak khawatir karena baru kali ini dia melihat anak SD sebongsor saya, atau mungkin dia berpikir baru kali ini ada guru SD yang menjiwai pekerjaannya sampai ikut memakan apa yang muridnya makan.

Selesai membayar dengan uang recehan yang saya temukan asal-asalan di saku celana, saya memilih duduk di dekat gerbang sekolah sambil asik mengunyah arum manis yang barusan saya beli. Sampai seorang anak perempuan kecil berkepang dua dengan sisa keringkat yang menempel di atas bibirnya, mendatangi saya dan menatap lama.

"kakak suka arum manis?"

Dilihat dari seragamnya yang masih putih merah, saya yakin anak ini bersekolah di sekolah ini dan tidak berniat untuk menculik saya yang sedang sendirian.

"iya, suka sekali. Saya suka semua yang manis-manis" saya menjawab asal, toh yang bertanya anak kecil.

"Sama. Saya juga suka sekali semua yang manis. Tapi memangnya ada yang lebih manis selain permen dan arum manis, kak?"

Saya tersedak butiran permen manis yang belum selesai saya gigit karena ucapan anak kecil ini barusan. Karena merasa bersalah, anak kecil berkepang dua ini menatap dengan mata berair seraya bertanya dalam hati apakah saya baik-baik saja.

Ingin sekali saya mencurahkan semua yang sedang saya rasakan pada anak kecil ini. Tapi sepertinya, dia belum mengetahui apa yang dia akan ia hadapi ketika dewasa nanti. Masalahnya akan jauh lebih hebat dibanding menunggu giliran bermain lompat tali dengan 3 atau 4 temannya.

Saya mengeluarkan sebuah gambar dari dalam dompet. Menunjukkannya kepada anak kecil berkepang dua barusan, seperti anak kecil yang pamer tentang apa yang dimilikinya.

"dia manis" ujar si anak kecil tersebut sambil berlari kecil menjemput suara bel sekolah yang menandakan dia harus kembali masuk ke dalam kelas dan belajar tentang ilmu pasti alam semesta. Sementara saya disini, mematut diri berusaha sadar untuk belajar ilmu pasti tentang rasa, terutama rasa manis seperti yang dilakukan anak kecil tadi di bangku sekolahnya.

Saya awam tentang bagaimana penelitian mengatakan kalau rasa manis bisa berakhir pahit. Bagaimana pria ini bisa menjadi kesayangan saya setelah permen dan arum manis. Begitu manisnya.

Sekarang permen dan arum manis jadi begitu hambar disandingkan dengan pria manis yang tersenyum di foto ini. Kenapa bisa begitu tidak adilnya konsep manis saya dibandingkan konsep manis yang dimiliki anak-anak berpakaian putih-merah tersebut.

Semua anak-anak menyukai rasa manis dan bisa memiliki semua permen yang ada di dunia ini dengan sekali lahapan besar mulut mereka. Mereka tidak merasa takut sedikitpun jika gigi mereka disakiti atau gigis terkikis gula.

Tidak seperti saya, yang tidak bisa begitu saja memilikinya seperti membeli permen atau arum manis di abang-abang penjual manisan. Saya juga bukan anak kecil, wajarkah jika saya merasa takut gigis dan hati saya terkikis rasa sakit ketika harus merasakan manisnya rasa.

Andai sekarang saya jadi anak kecil, saya ingin memilikinya sekarang juga, arum manis pribadi saya yang senyumnya mengalahkan sisa permen digenggaman saya.
Andaikan saja konsep manis yang dimiliki setiap manusia tidak ada bedanya. Aku ingin memilikinya.

Sekelebatan, aku melihat bus besar kotorku melewati ujung mataku. Seperti menyeringai licik karena meninggalkanku sendirian yang telah setia menungguinya sedari tadi.

"ah, sial"

Selasa, 02 Februari 2016

Terima Kasih, 2015!

picture source: www.tumblr.com



Apa yang sudah diberikan Tuhan lewat 2015 kepada saya? lebih dari cukup.
Saya dibawa melampaui dari apa yang pernah bisa saya bayangkan untuk diceritakan dalam barisan kata ber-spasi ini.
Digambarkan begitu sederhana, nyatanya cukup membuat saya mencintai kenyataan, mencintai 2015.

Mulai dari jatuh cinta dengan pria (yang semoga) adalah pria pilihan Tuhan dikirim menemani saya dibawah janji-Nya dengan ayah saya.
Pria ini yang kini saya perkenalkan sebagai suami, di tahun 2015 juga.
Dari pria ini saya belajar banyak, salah satunya bagaimana rasanya memiliki seseorang yang selalu ada dan seseorang yang menjadi milik kita dan menyayangi kita meskipun tahu tidak ada hubungan darah dengan kita.

Tak lama, Tuhan melalui 2015 memberikan kejutan lain yang membuat saya terhentak bahagia layaknya kelinci riang menemukan banyak sekali wortel manis untuk dirinya sendiri.
Saya bertumbuh menjadi dua jiwa dalam satu tubuh.

Apa yang lebih membahagiakan mengetahui kau memiliki teman kecil yang bergeliat mungil di perutmu sendiri. Dia terus tumbuh dan berkembang di tahun 2015 ini. Tak sabar menunggu 2016 untuk mengetahui rupa keajaiban kecil saya ini.


Ah, 2015!
Saya malu mengakuinya berulang-ulang, tapi kau baru saja menjadi salah satu tahun favoritku. Sampaikan rasa terimakasih berlebihanku pada Tuhan.


dan, jangan lupa sampaikan pada 2016 untuk lebih berbaik hati pada saya.


Alhamdulillah for 2015. Terimakasih ya Allah.