Kamis, 19 Juli 2012

Nice Conversation with Dennis

It’s tuesday, 20 des 2011. aku bertemu dengan seorang pria yang bernama Dennis, he is very nice person. Dia datang dari Belanda. Banyak sekali yang aku dapat dari dia, meskipun hanya beberapa menit percakapan. Satu hal yang tidak bisa aku lupa dari dennis adalah, bagaimana dia bercerita tentang karma. Ya, KARMA!

He’s believe that karma is exist, so do I! kata karma yang selama ini jadi kosa kata asal lalu di pikiranku, tiba-tiba dengan kuat menancapkan kuku jarinya begitu dalam di ingatan, selain mungkin karena faktor Dennis yang membicarakannya. LOL. He’s cute.
Karma, is just simple word but so meaningful for me. Dennis menceritakan tentang sedikit tentang dia dan karma. Dulunya dia seorang ’army’ kalau aku tidak salah mengingat, intinya dia bekerja selama 5 tahun dengan suasana, kondisi, dan teman-teman yang memiliki kepribadian cukup keras dan ego yang kuat. Dennis sendiri mengaku kalau dirinya orang yang lembut dan tentunya Dennis percaya karma.
Dennis memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya tersebut, dan masuk ke ’medical service’ di Belanda. Dari pekerjaan barunya tersebut, Dennis mulai membantu dan memberikan pelayanan untuk komunitas yang membutuhkan. Di Indonesia sendiri, dia adalah relawan di kota-kota kecil seperti Banyuwangi, dan sekarang dia tengah berada di Surabaya untuk beberapa waktu. Di Banyuwangi dia secara sukarela membantu anak-anak disana untuk belajar bahasa inggris, dan memberi pengetahuan tentang kesehatan.

Seperti menemukan jodohnya, Dennis mulai menyadari kalau ”Karma is Real”. Dia merasa harus selalu berbuat baik agar kebaikan kembali kepadanya, begitu pula dengan kejahatan yang akan selalu kembali pada diri kita ketika kita berbuat kejahatan.
Entah bagaimana, tiba-tiba kata karma mencuri beberapa bagian di otakku, membuatku memutar kembali perbuatan atau perilaku apa saja yang sudah aku perbuat dan mungkin aku tinggal menunggu balasannya. Apakah itu kebaikan atau malah kejahatan. Mungkin aku bukan orang suci yang tidak pernah membenci orang, dan ”cling!” tiba-tiba aku teringat apa yang seketika membuat aku terdiam beberapa sesaat, seperti menunggu, menunggu datangnya .. kar .. ah aku tidak sanggup mengatakannya.

Aku terlalu sering membenci orang, ya aku terlalu sering membenci orang, hanya membenci, aku tidak pernah memakinya, mendorongnya, menjambaknya atau apapun. Aku hanya membenci.

Apakah mungkin nantinya akan banyak yang membenciku? I’ll just wait. Saat ini yang aku harap, karma is fairy! But yeah, heard so absurd. Aku hanya manusia, orang suci saja masih ada yang membenci bagaimana dengan aku. Yeah, mungkin dengan cara mulai berbuat kebaikan dan menjaga perilaku, seperti Dennis. Dennis bilang kalau semua manusia baik, peranglah yang tidak baik. Dennis juga bilang kalau semua agama itu baik, peranglah yang tidak baik. Perang bukan tentang manusia, bukan tentang agama tapi tentang ego. Oh, God! I love this man. He’s kind of a good friend.

Dennis juga merasa sangat menyesal atas penjajahan Belanda terhadap Indonesia. Dia merasa sangat tidak enak dan tidak nyaman atas penjajahan tersebut. dia merasa memiliki kewajiban untuk mengganti perlakuan orang-orang terdahulunya dengan sesuatu yang lebih positif seperti menjadi relawan di beberapa komunitas kecil dan terpencil di Indonesia. This man have a wonderful heart. Dia merasa generasi baru seperti dirinya berbuat kebaikan dan bukanlah perang. “war is not good!” dia bilang kata-kata itu berulang kali seakan itu harusnya jadi tulisan di seragam anak-anak muda penerus bangsa.

“karma is exist” dan “war is not good” adalah dua kata kunci yang tiba-tiba melekat di dinding pikiranku. Sebuah kosakata sederhana yang bagiku tidak ada sedikit saja waktu untuk menggali maksud kosa kata tersebut, tapi Dennis-lah yang tiba-tiba menggalinya begitu dalam. Menurutku cukup membicarakan hal yang sedikit menimbulkan penyesalan dalam diriku dan beralih ke topic pembicaraan yang sedikit mengasikan tentang tahun baru yang akan datang. Dennis mengatakan kalau dirinya dan pacarnya akan mengunjungi Bandung, dan kemudian berakhir tahun di Bali. Aku dengan excited merespon dengan nada iri kalau bali adalah tempat yang paling dielu-elukan ketika akhir tahun tiba. Dennis menjawab cepat kalau dirinya tidak untuk berpesta di Bali tapi untuk meditasi. Aku ternganga. Aku terdiam, menunggu penyeselan macam apa lagi yang akan muncul dalam diri ini.

Meditasi untuk berterima kasih pada alam, semacam meditasi untuk menyadari berkat yang diberikah oleh alam, kurang lebih seperti itulah yang dikatakan oleh Denis. Sejurus kemudian dia mulai bicara dalam bahasa meditasi dan kedokteran yang tidak tertangkap jelas oleh orang pribumi sepertiku. Dia berkata tentang bagaimana dirinya bermeditasi untuk mengeluarkan energi positif dari dalam dirinya dan memberikannya pada alam atau bumi. Dennis juga menjelaskan tentang cakra, bahwa setiap orang masing-masing memiliki 9 cakra. What a life, dan aku lupa cakra apa saja itu, maaf. Aku hanya ingat, 9 cakra mausia itu dahi, tengah alis, tenggorokan, dada, hati, organ seks, punggung dan aku lupa, sekali lagi maaf. Jika aku tidak salah mengingat, cakra adalah tempat dimana setiap manusia mengeluarkan energi positifnya.

Exhale, inhale. Aku lupa bernafas, percakapan singkat itu membuat aku menyadari banyak hal yang lebih dari kata singkat. Mulai dari berbuatlah kebaikan karena karma itu ada, karma adalah kata yang berasal dari india itu dapat dimaknai positif agar setiap orang mau melakukan kebaikan dengan imbalan berbaliknya kebaikan tersebut kepada kita. Zaman sekarang jika tidak membicarakan upah atau balasan tampaknya akan sangat jarang ditemui, semuanya seperti ada harganya. Dengan kata karma diharapkan setiap orang menyadari kalau semua hal ada balasannya, semua mendapatkan sesuatu dari apa yang kita ‘tanam’ dan itu bukan hanya yang sifatnya materi atau uang mungkin bisa diganti dengan kata ‘KEBAIKAN’.

Tuhan itu satu. Even ada banyak agama di dunia ini, dari Dennis aku belajar kalau semua orang itu baik, semua agama itu baik, yang tidak baik adalah perang karena perang bukan tentang manusia atau tentang agama melainkan tentang ego. Mungkin masa lalu kita sempat diwarnai dengan perang tapi sekarang adalah generasi baru yang anak muda seperti kitalah yang harusnya menumbuhkan stigma “war is not good” kepada generasi-generasi berikutnya.

Terakhir, mencoba memahami dan berterima kasih pada alam adalah sesuatu hal yang sudah sewajarnya dilakukan. Salah satunya mungkin dengan merenung di akhir tahun bukannya berpesta yang mungkin akan menimbulkan keburukan atau kerusakan pada alam. Berpesta yang sewajarnya mungkin hal yang harus dipahami setiap orang, meskipun aku sendiri belum bisa dibilang ahli untuk tahu bagaimana cara berpesta sederhana itu. Just smile. This is all about the simple way i tell you the world and the simple way i smile tou you.

Thank you dennis! <3 br="">

welcoming me, JAKARTA!

Saat itu 20 Januari 2012, aku merengek seperti anak bayi di depan nenek, mama, papa, tante, semua orang yang mengantar kepergianku. Itu pertama kalinya kesombonganku runtuh seruntuh-runtuhnya. Seakan aku memeluk kakiku sendiri agar tidak pergi meninggalkan rumah hangat ini, tapi ego di kepalaku lebih berat untuk menyuruhku segera naik mobil dan menuju ke bandara.

Sombong sekali aku ingin segera bekerja dan tinggal di tempat yang jauh dan keluar dari kota pahlawan, mencoba mencari tau apa yang ada di luar sana. Sekarang aku dihadapkan pada keinginanku sendiri dan bodohnya aku, pengecutnya aku, aku menangis, merengek seperti anak kecil kehilangan gandengan tangan ketika berada di tempat ramai.

Aku enggan pergi, aku enggan berkemas, aku enggan melangkah, bahkan aku enggan menatap keluargaku lama dan seksama. Aku malu, aku terlalu sombong. Akhirnya aku pergi dengan pesan ’hanya 3 bulan akan kembali’. Sebenarnya itu bukan untuk menenangkan mereka yang menangisi kepergianku ini tapi lebih untuk menenangkan aku yang sesenggukan menahan tangis yang lebih hebat di dalam dadaku.

Nenekku yang masih lincah mencium berulangkali pipiku yang sudah tidak berbedak lagi karena terlalu banyak menangis, tante yang juga mencium pipiku berkata ’be strong, ya!’. Aku mencoba, aku mencoba sekuat tenaga sampai rasanya esofagusku tersumbat hingga aku susah bernafas. Aku melambai lemah di balik kaca mobil kepada nenek, dan tante-tanteku. Selanjutnya adalah perjalanan menuju pemilik surgaku di kakinya, mama. Aku menemuinya di kantor tempatnya bekerja, aku mencium tangannya, menangis meminta maaf – karena sebelumnya kita memang memiliki konflik – aku juga meminta doanya yang kata banyak orang manjur dan sering terkabulkan, aku juga meminta restu dan ijinnya.

Mama mencium pipi dan keningku dengan tetesan air mata yang sama banyak seperti yang aku keluarkan. Aku melambaikan tangan sambil menyeka airmata dengan punggung telapak tanganku. Aku tak sanggup. Entahlah. Rasanya ada putaran ombak di bagian dada terdalam membuat nafasku naik turun. Membuatku bernafas, lalu sedetik kemudian aku lupa cara bernafas.

Aku kembali ke dalam mobil dan menatap jalanan dengan mantap dan mencoba memberi kekuatan untuk diriku sendiri. Aku bersyukur tidak lagi harus menuju kekantor seseorang untuk berpamitan, sudah selesai aku berpamitan dengan beberapa orang. Lalu aku melihat ke arah bangku kanan, aku melihat papaku tengah menyetir mobilnya dengan seksama melihat jalanan menuju bandara. Aku lupa bernafas! Aku lupa satu orang paling berharga ini yang harus aku tinggalkan sejenak untuk bekerja di kota orang. Papa. Aku menunduk, menyembunyikan isakku. Lagi. Kesekian kalinya.

Dering handphone berbunyi, aku melihat nama adik perempuanku. Aku mencoba mengangkatnya dengan suara kocak yang sering aku perlihatkan padanya. Tapi tiba-tiba semuanya buyar ketika adikku di seberang telepon menangis menderu hanya memanggilku terus-terusan ’mbak!’ ’mbak!’ ’mbak!’. Aku bukan lagi bendungan kuat yang bisa menahan airmataku, aku menangis, aku lupa bernafas, aku mengutuk kesombonganku yang ingin pergi jauh. Aku kembali menggunakan trik ’hanya 3 bulan akan kembali’ dan bukan untuk menguatkan adikku tapi lebih untuk menguatkan diriku sendiri.

Bandara terbuka lebar di hadapanku, aku mencari temanku yang juga akan berangkat ke kota yang dipanggil ibukota. Aku menemukannya tengah bercanda gurau dengan teman-temannya. Inilah saatnya memasuki gerbang keberangkatan bandara yang ternganga lebar. Aku mencari sosok papaku untuk ku peluk dengan erat. Inilah perpisahan yang paling membuatku tersayat, terkuliti, terpanggang, dan membuatku mati sejenak. Papaku, papa favorit yang selalu kubanggakan, kuidolakan. Perpisahan ini lah yang akhirnya datang juga, perpisahan yang akan menyisakan petuah-petuah ajaibnya di telingaku. Aku kembali mengucapkan mantra ’hanya 3 bulan akan kembali’ untuk menguatkanku. Tapi aku gagal, aku menangis sesenggukan di pelukan papaku, aku bahkan gagal mengucapkannya, aku menggigit bibirku. Aku tidak mau pergi, aku tidak mau masuk ke bandara, aku tidak mau meninggalkan mereka.

Di pesawat ini, aku mengucapkan kebesaran Tuhanku berkali-kali, aku meminta maaf karena kesombonganku, aku juga menyebut mantra ’hanya 3bulan akan kembali’-ku berulangkali. Setidaknya itu membuatku kelelahan dan tertidur di tengah awan yang setiap kali aku melihatnya maka aku bisa melihat wajah orang-orang yang aku tinggalkan di bawah sana dengan janji ’hanya 3 bulan akan kembali’.

Disinilah aku sekarang, di sebuah kamar kecil sendirian, tengah menikmati hari minggu, kembali mencoba mengutuk kesombonganku dengan menulis ini semua. Disinilah aku menikmati tanggal 15 Juli 2012 sendirian, memikirkan bagaimana aku bisa menghadapi bulan ramadhan yang akan segera tiba tanpa nenek yang selalu membangunkan untuk makan sahur, bagaimana aku bisa menghadapi saat berbuka tanpa minuman dingin dan beberapa gorengan. Aku sama sekali belum bisa membayangkannya bagaimana aku bisa melaluinya tanpa keluargaku disini.

Mantra ’hanya 3 bulan akan kembali’-pun sama sekali tidak berfungsi dan tidak berguna, buktinya aku sudah di kota orang ini selama hampir 6 bulan, dan akan diperpanjang hingga september. How lucky i’am, huh?!

Jika suasana hatiku diibaratkan seluncuran aku pernah ada di atas, sangat atas bahkan aku hampir menyentuh awan dan langit. Aku sangat bahagia ada di kota ini, aku sangat ceria, aku sangat bersyukur. Tapi aku juga pernah berada di lapisan paling bawah seluncuran, aku terkulai tidak berdaya digerogoti oleh rindu yang tajamnya bagai ribuan bahkan miliaran mata pisau yang diasah tiada henti. Bahkan aku sempat berpikir aku akan mati karena rindu. Aku pernah merasa tidak sanggup lagi menyeka rindu yang tergulir setiap saat setiap waktu di bilik hati yang terdalam.

Aku jatuh sakit, aku tersungkur tak berdaya menerima donor darah dari seseorang, ya!, aku masuk rumah sakit beberapa waktu yang lalu, hampir satu minggu aku absen dari kantor dan tidur lelap di kasur rumah sakit. Aku bukannya menabung untuk membahagiakan kedua orangtuaku malah merepoti mereka dengan biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Aku mengutuk kesombonganku.

Tidak ada yang akan tahu kapan seluncuran suasana hatiku akan berada di high point dan low point. Tunggu saja hingga semua ini berkhir, karena tubuhku rasanya harus siap tidak siap menunggu saat terendah dari saat dimana aku akan kembali mengutuki kesombonganku.

Kita tunggu saja bagaimana September akan datang. akankah datang manis atau akan datang dengan tangis. semoga tangis bahagia.