Rabu, 18 Juni 2014

Senyum Bocah



Kaki kecil itu terlalu hitam dan keras untuk berjalan sendirian di panasnya aspal tanpa alas sekelas sandal jepit. Tangannya yang menggenggam recehan masih menyisakan tiga sampai empat eksemplar koran yang tidak laku terjual pagi hari tadi.

Sedangkan,
saya sedang dalam masalah besar hari ini, saya yakin ini sengketa alam yang berusaha membuat saya menjadi wanita menyebalkan dan pemarah. Bagaimana tidak, banyak pekerjaan anak buah yang tidak selesai seperti perintah saya. Seakan bos ikut berkonspirasi membuat saya semakin muak berdiam diri di dalam kantor. Sejenak ingin keluar dengan alasan makan siang.

Kuku-kuku yang menghitam itu seakan malu untuk mengetuk kaca mobil yang mulus itu hanya untuk menawarkan sisa korannya yang lecek. Tapi apa boleh buat, perutnya bergemuruh kelaparan minta di isi seadanya. Sudah dari kemarin isinya hanya air, pantas kalau sekarang perutnya berdemo riuh minta diperhatikan.

"koran, mbak"

Saya kaget bukan main, padahal hanya suara ketukan kecil di kaca mobil. Sudah hampir marah saja rasanya, saya buka kaca jendela dan ingin segera menyemburkan nafas api ke biangnya suara.
Bukan siapa-siapa memang, tapi sepersekian detik setelah saya melihatnya, saya jatuh hati, saya jadi seperti bara api yang disiram air bunga. Saya tenang seketika.

Bocah laki-laki kecil ini berusaha melebarkan senyumnya didepan setiap orang, setidaknya dengan begitu orang juga merasa ingin tersenyum, bocah ini tidak mau orang yang melihatnya merasa iba atau kasihan karena dia memasang wajah memelas. Padahal ingin sekali bocah ini menyengir lebar karena perutnya yang melilit memprotesnya karena butuh nasi yang bisa dicerna.

Saya melihat sebuah senyum yang tulus dan ikhlas. Saya pernah melihat ribuan senyum dibuat-buat didepan saya. Tapi yang ini lain, senyumnya yang sejuk bisa mengalahkan angin pantai yang sudah saya rencana-kan akhir bulan ini di hawai. Tiba-tiba saya tidak butuh hawai, saya bahkan lupa dimana tiket pesawat yang sudah saya beli dari 5 bulan lalu. Tapi senyum bocah ini bisa menggantinya.

Buru-buru saya cari uang kertas yang tersisa di dalam tas. Saya hanya menemukan uang 20.000-an. Sambil melihat waktu berjalan di lampu merah yang masih di angka 80, saya membalas senyum bocah kurus ini dan memberikan uang yang saya temukan di tas.

"tidak pakai sandal?" saya bertanya.

Si bocah melihat kakinya malu-malu, tetap dengan senyumnya yang lebar. Karena diingatkan seperti ini, kaki si bocah terlihat berjingkat karena baru sadar kakinya kepanasan sedari tadi.

"Korannya" bocah ini mencoba mengalihkan perhatian saya dari kakinya.

"Kenapa tidak pakai sandal?" saya mengulangi pertanyaan.

"Kaki saya kuat kok, mbak" si bocah itu lagi-lagi tersenyum sambil melompat-lompat karena baru sadar kalau aspal hari ini sedang dihajar mati-matian oleh matahari.

"kembaliannya"

"ambil saja"

Si bocah memberi saya senyuman terlebar yang bisa dia ciptakan. Lalu mencelat pergi menuju pohon-pohon yang bayangannya mampu mendinginkan telapak kakinya yang terlanjur kepanasan.



Saya dikagetkan lagi oleh bunyi klakson dari pengemudi yang marah dibelakang mobil saya karena lampu lalu lintas sudah hijau dari tadi.

Saya diajarkan banyak hal dari bocah kecil tadi. Bukan waktu yang lama untuk belajar pada umumnya, hanya 80 detik dari bocah yang kurus kering, dahi dan leher yang menghitam karena daki, jari-jari mungil yang kuku-kukunya sedikit kotor, dan kaki yang kuat kesana kemari tanpa alas.

Bagaimana mungkin bocah ini memuji kakinya kuat sementara dia berjingkat-jingkat kegelian setelah diingatkan.
Memang, bersyukur bukan hal yang sulit tapi tidak banyak yang bisa melakukannya seketika itu dan setiap waktu. Bersyukur atas apa yang kita miliki dan tetap bersyukur atas apa yang tidak kita miliki.

Saya diingatkan bocah ini untuk tersenyum lebar pada siapapun, pada situasi Tuhan, dan terutama pada diri sendiri.
Bocah ini membawa berlembar-lembar koran sedangkan saya membawa berlembar-lembar berkas penting kontrak dengan perusahaan besar.
Bocah ini tidak memakai alas kaki sedangkan saya memakai berbagai jenis sepatu bernama yang setiap harinya bisa berganti sesuai warna pakaian.
Bocah ini bisa bersyukur dan memuji kakinya kuat padahal untuk membeli air bersih saja mungkin kesulitan apalagi sandal.

Saya kembali ke kantor, dan tersenyum pada semua orang.
Saya masuk ke dalam ruangan, dan tersenyum pada diri sendiri.
"hati saya kuat, otak saya kuat, Lila kuat kok"
Saya kembali bekerja sambil berjanji untuk kembali ke bocah tadi membawa sepasang sandal dan makanan. Sudah tidak sabar rasanya belajar lagi dari bocah 'si kaki kuat'.

Sabtu, 07 Juni 2014

Little Toes, Little Nose, Little Eyes, Little Happiness

Saya menyukai anak-anak. Ya, anak kecil berbadan mungil yang sering berlarian kesana kemari. Saya memiliki concern lebih pada ilmu tentang anak-anak. Ilmu tentang fase perkembangan anak-anak, atau ilmu tentang psikologi anak-anak. Salah satu alasan, kenapa saya masuk ke Fakultas Psikologi, adalah untuk mengetahui lebih banyak ilmu tentang pemilik 10 jari mungil yang sering belepotan ketika bermain pasir basah atau sisa makan siang ini.





Tidak ada alasan pastinya kenapa saya menyukai anak kecil, tapi yang saya khawatirkan adalah kenapa masih ada orang dewasa yang tidak menyukai malaikat mungil tersebut.
Pembicaraan kerdil antara dua wanita matang yang tidak sengaja saya dengar di sebuah toilet umum cukup membuat saya ingin meledak dengan celana sobek dan badan yang berubah hijau. (but i think, the Hulk costume not gonna fit me, anyway)

Salah satu dari wanita itu berkata pada wanita lainnya seperti tidak paham kalau ada dinding yang bisa mendengar. (Iya, dinding yang sedang dibicarakan itu adalah saya.)

"thanks God, pacar aku bisa bikin anak-anak kecil itu minggir dan ga deket-deket aku. Pacar aku tau kalau aku ga suka anak-anak."

Why?? whats wrong with that cutie pie face that makes you doesnt like them?WHATT? SAY TO ME!

Wanita itu harusnya membenci usianya yang sebenernya berusaha dewasa tapi sama sekali tidak bergandengan dengan fungsi normal otak mereka.
Harusnya mereka lebih membenci kerutan dipinggiran mata mereka sendiri, atau uban putih yang berusaha menampakan diri dibalik kulit kepala mereka sendiri.

Jika ada anak kecil yang tidak menyenangkan itu bukan karena salah anak-anak tersebut sebenarnya.

Saya sekilas membaca sebuah penelitian yang saya lupa judulnya dan penelitinya.
Anak-anak adalah penerima aura paling sempurna. Maksudnya, ketika ada orang dewasa yang tidak menyukai mereka, maka anak-anak ini juga tidak akan mendekati atau menyukai orang dewasa tersebut. Begitu pun sebaliknya.

Sebenernya kekuatan satu ini yang ingin saya curi diam-diam dari anak-anak. Saya ingin sekali mengetahui bagaimana perasaan orang lain terhadap saya ketika mereka ada di dekat saya. Sehingga saya bisa menghindar sejak awal atau bahkan membenci mereka dari awal.

Ah, saya jadi curhat. Kembali lagi ke  anak-anak yang sering sekali pipinya saya jadikan landasan cium dan cubit.

Saya setuju dengan gagasan tuan John Locked di abad 17, seorang filsuf yang mencetuskan sebuah ide tentang 'tabula rasa'.
Teori tersebut mengatakan kalau anak-anak sejak dia dilahirkan serupa dengan sebuah 'kertas kosong'. Mereka masih bebas, bersih, tidak ada aturan, dan belum memiliki identitas. Baru kemudian tugas orangtua, panca indera, dan lingkungan yang mengisi 'kertas kosong' tersebut dengan coretan asal, atau lukisan indah yang hampir setara lukisan jingga milik senja, atau hanya akan terus kosong dengan debu-debu tak ada gunanya di atas 'kertas'nya.

Tidak akan ada habisnya jika saya bercerita tentang anak-anak.

Anak-anak adalah model tercantik dan tertampan yang dimiliki seorang ayah untuk terus diambil gambarnya.
Ada teman saya yang seorang fotografer, sebelum menikah, bukan main cantik dan seksi model yang diambil gambarnya. Sekarang anaknya-lah gambar yang harus muncul di satu-satunya lensa kamera miliknya. Anaknya adalah gambar favorit yang tidak rela dia edit dengan berbagai macam filter karena gambar yang sebenarnya sudah menunjukkan surga Tuhan baginya yang bisa dia potret dan pamerkan.


Anak-anak adalah ah.. mungkin nyawa hidup mati bagi ibunya.
Ibu yang tidak takut berduel nyawa dengan malaikat maut demi melahirkan anaknya, Ibu yang tidak takut gendut untuk menyimpan keindahan Tuhan didalam rahimnya.

Saya belum tau bagaimana rasanya melihat wajah anak yang berasal dari tubuh saya sendiri, tapi saya sudah mengtahuinya, kalau saya akan jatuh cinta padanya begitu saja. Saya akan jatuh cinta setengah mati padamu, nak.

Ada ribuan keteduhan dibalik mata anak-anak yang riang hanya dengan memakan es krim.
Atau puluhan kali bau pesing yang keluar dari balik celananya, tapi ada senyum mungil untuk menenangkan hati mamanya yang keliyengan mengganti popok.

ahh, anak-anak kalian lucu sekali. Terkutuklah hingga ke neraka orang-orang yang tega merusak masa kecil anak-anak ini dengan kekerasan dan kebodohan yang tidak habis saya pikir.

Para pelaku kekerasan fisik atau kekerasan seksual pada anak-anak harusnya membesarkan kotoran mereka sendiri dan bukan membesarkan anak-anak.
Semoga hukum dan agama tau bagaimana memperlakukan pelaku kejahatan anak-anak yang saat ini sedang marak diperbincangkan. Keselamatan anak-anak saat ini bahkan sudah sampai pada level darurat yang patut diberi perhatian lebih.

Anak-anak adalah masa depan. Jaga mereka seperti menjaga bungkusan hadiah dari Tuhan yang hanya datang sekali-sekali.

Work for Cause, not for Applause

Posting kali ini sengaja saya tulis pada hari sabtu. Sambil menunggu jam pulang kerja, saya menyempatkan untuk menulis sedikit saja tentang pekerjaan saya.
ya, hari sabtu!
ya, saya bekerja di hari sabtu!

Hari dimana jalanan sepi, karena sang empunya jalan tengah berbaring dikamar sengaja kesiangan.
Sebagian pemakai jalan juga sedang menikmati sarapan pagi, atau sekedar menonton tayangan televisi, ada juga yang sedang bersantai dengan keluarganya masing-masing.
Tapi saya bekerja, di sebuah kantor yang letaknya hampir 40 menit dari rumah saya. Ya, di hari sabtu.

Hari favorit banyak orang ini harus saya habiskan dengan menyeret kaki saya ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari sabtu ini juga yang mengharuskan saya menaiki motor untuk segera berangkat ditemani debu knalpot, panas terik, dan angin yang kadang tidak santai menubruk-nubruk saya.

Omong-omong, saya bekerja di kantor swasta yang berkecimpung di dunia pendengaran.
Bukan sebuah pekerjaan impian sebenarnya, saya dulu bercita-cita ingin memiliki pekerjaan yang bisa membuat saya terlihat cantik. haha i know, it sounds shallow!

Setelah saya dewasa, saya baru menyadari kalau pekerjaan yg bisa membuat saya cantik adalah teller bank, sales promotion girl, menjadi pramugari, atau model.
Hampir semua pekerjaan tersebut ditolak mentah-mentah oleh orangtua saya.

Menjadi teller bank dengan kebodohan saya dalam berhitung sepertinya bukan ide yang baik.
Menjadi Sales Promotion Girl dengan gelar sarjana psikologi dan kepribadian introvert seperti saya ini mungkin akan berakhir dengan bangkrutnya icon yang akan saya promosikan.
Menjadi pramugari, big no! orangtua saya termasuk orangtua yang antipati dan berhati-hati pada kendaraan yang bisa melayang-layang tersebut, kecuali mereka terdesak menunaikan kewajiban mereka sebagai umat islam. Apalagi jika mereka haruss membayangkan anaknya melayang-layang puluhan hari diatas bentangan samudera.
Menjadi model, mungkin disini saya yang harus sadar diri.

And here iam. Disebuah klinik pendengaran yang menjual berbagai macam alat bantu dengar.
Di perusahaan tersebut, saya dikenal sebagai seorang terapis atau dalam bahasa ilmiah yang lebih mendunia dan mungkin lebih kerennya adalah seorang Audiotry-Verbal Therapist.

Saya setiap harinya bekerja dengan anak-anak. Pekerjaan saya bermain dengan anak-anak. Karena menurut Pandji Pragiwaksono, bermain adalah belajar yang dilakukan oleh anak-anak secara sukarela. Jadi, saya bukan guru dari anak-anak tersebut, saya teman bermain mereka disini.

Saya menerima pekerjaan tersebut, karena saya akan bekerja sama dengan anak-anak yang lucu. Apa yang lebih menyenangkan memiliki rekan kerja seorang anak berukuran mini yang sering bernyanyi dan bertingkah menggemaskan.

Saya bekerja dengan anak-anak yang menggunakan alat bantu dengar di telinganya.
Mereka adalah anak-anak yang kesulitan mendengar suara atau yang biasa kita labeli dengan anak-anak tuna rungu.

Hellen Keller adalah seorang wanita yang memiliki gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran sekaligus saat usianya 19 bulan. Hellen Keller, seorang penulis dan aktivis ini pernah mengatakan bahwa kebutaan memisahkan seseorang dari benda, tapi ketulian memisahkan seseorang dari orang lainnya.


Lalu apa tugas saya disini? mengajari mereka bahasa isyarat?
Tidak, saya bahkan tidak paham arti dari bahasa isyarat yang biasa digunakan untuk membantu komunikasi para penyandang gangguan pendengaran.
Saya hanya paham isyarat gerakan tangan menggaris leher, yang biasa saya gunakan dihadapan adik perempuan saya, ketika dia tidak menutup kembali pintu kamar saya setelah keluar.

Saya bertugas untuk membuat mereka bisa berbicara dan berkomunikasi layaknya anak-anak normal pada umumnya.
Mereka tidak boleh gagu, mereka tidak boleh dilihat aneh, mereka tidak boleh dikata-i bisu, mereka tidak boleh masuk ke SLB (Sekolah Luar Biasa), mereka tidak boleh tidak bisa mendengar, mereka harus bisa mendengar!

Itu tugas saya disini.


Saya mengajari mereka berbahasa, mengajari mereka mendengar, mengajari mereka bicara normal.

Bukan tugas main-main, ada hati sesuci peri didalam diri anak-anak ini yang harus saya jaga.
Saya juga bukan main berusaha sekuat tenaga membuat mereka tampak layaknya anak-anak seusia.

Nantinya saya punya mimpi mereka bisa menyampaikan apa yang mereka rasa dalam kata, bukan gerakan yang membuat orang menerka.
Nantinya saya punya mimpi mereka bisa membanggakan orangtua mereka dalam lagu, bukan gumaman yang orang pikir hanya gagu.
Nantinya saya punya mimpi mereka bisa memimpin dunia dalam bahasa, bukan janji kemudian hanya jadi omong kosong bahasa.

Tapi pernah ada yang mengatakan tentang kata 'idealis' yang sampai sekarang saya belum paham betul apa maknanya bagi saya.
Bagaimana dia memperingatkan saya untuk menjadi orang yang juga memikirkan diri sendiri.
Bagaimana dia mencoba untuk memberi saya kesempatan, kesempatan untuk menyayangi diri saya sendiri.

Saya bahkan belum tau akan dibawa kemana sebenarnya hidup saya ini.
Saya punya mimpi.
Sesederhana kata bahagia, saya hanya mau bahagia yang sederhana.

Pekerjaan saya yang sekarang ini bukan berarti yang terbaik
Pekerjaan saya yang sekarang ini bisa saya banggakan tapi juga membawa beban.
Pekerjaan saya ini bukan yang saya impikan, tapi anak-anak ini butuh mimpi.






 




Saya bukan wanita sempurna layaknya dewi athena yang diciptakan dengan kekuatan dan kebijaksanannya.

Saya wanita biasa yang menyempatkan diri untuk selalu berdoa, dan berusaha.
Isi doa sederhana, yang ingin saya perlihatkan pada Tuhan bagaimana saya bersyukur atas semuanya yang coba Dia berikan pada saya dengan cara yang luar biasa lewat anak-anak yang luar biasa.

"Tuhan, saya mau bersyukur. If in this world i should work for cause, not for applause. Then it's should be just YOU the one that i try to impressed, so You can give me big applause. Not the boss, and not the other"