Sabtu, 07 Juni 2014

Little Toes, Little Nose, Little Eyes, Little Happiness

Saya menyukai anak-anak. Ya, anak kecil berbadan mungil yang sering berlarian kesana kemari. Saya memiliki concern lebih pada ilmu tentang anak-anak. Ilmu tentang fase perkembangan anak-anak, atau ilmu tentang psikologi anak-anak. Salah satu alasan, kenapa saya masuk ke Fakultas Psikologi, adalah untuk mengetahui lebih banyak ilmu tentang pemilik 10 jari mungil yang sering belepotan ketika bermain pasir basah atau sisa makan siang ini.





Tidak ada alasan pastinya kenapa saya menyukai anak kecil, tapi yang saya khawatirkan adalah kenapa masih ada orang dewasa yang tidak menyukai malaikat mungil tersebut.
Pembicaraan kerdil antara dua wanita matang yang tidak sengaja saya dengar di sebuah toilet umum cukup membuat saya ingin meledak dengan celana sobek dan badan yang berubah hijau. (but i think, the Hulk costume not gonna fit me, anyway)

Salah satu dari wanita itu berkata pada wanita lainnya seperti tidak paham kalau ada dinding yang bisa mendengar. (Iya, dinding yang sedang dibicarakan itu adalah saya.)

"thanks God, pacar aku bisa bikin anak-anak kecil itu minggir dan ga deket-deket aku. Pacar aku tau kalau aku ga suka anak-anak."

Why?? whats wrong with that cutie pie face that makes you doesnt like them?WHATT? SAY TO ME!

Wanita itu harusnya membenci usianya yang sebenernya berusaha dewasa tapi sama sekali tidak bergandengan dengan fungsi normal otak mereka.
Harusnya mereka lebih membenci kerutan dipinggiran mata mereka sendiri, atau uban putih yang berusaha menampakan diri dibalik kulit kepala mereka sendiri.

Jika ada anak kecil yang tidak menyenangkan itu bukan karena salah anak-anak tersebut sebenarnya.

Saya sekilas membaca sebuah penelitian yang saya lupa judulnya dan penelitinya.
Anak-anak adalah penerima aura paling sempurna. Maksudnya, ketika ada orang dewasa yang tidak menyukai mereka, maka anak-anak ini juga tidak akan mendekati atau menyukai orang dewasa tersebut. Begitu pun sebaliknya.

Sebenernya kekuatan satu ini yang ingin saya curi diam-diam dari anak-anak. Saya ingin sekali mengetahui bagaimana perasaan orang lain terhadap saya ketika mereka ada di dekat saya. Sehingga saya bisa menghindar sejak awal atau bahkan membenci mereka dari awal.

Ah, saya jadi curhat. Kembali lagi ke  anak-anak yang sering sekali pipinya saya jadikan landasan cium dan cubit.

Saya setuju dengan gagasan tuan John Locked di abad 17, seorang filsuf yang mencetuskan sebuah ide tentang 'tabula rasa'.
Teori tersebut mengatakan kalau anak-anak sejak dia dilahirkan serupa dengan sebuah 'kertas kosong'. Mereka masih bebas, bersih, tidak ada aturan, dan belum memiliki identitas. Baru kemudian tugas orangtua, panca indera, dan lingkungan yang mengisi 'kertas kosong' tersebut dengan coretan asal, atau lukisan indah yang hampir setara lukisan jingga milik senja, atau hanya akan terus kosong dengan debu-debu tak ada gunanya di atas 'kertas'nya.

Tidak akan ada habisnya jika saya bercerita tentang anak-anak.

Anak-anak adalah model tercantik dan tertampan yang dimiliki seorang ayah untuk terus diambil gambarnya.
Ada teman saya yang seorang fotografer, sebelum menikah, bukan main cantik dan seksi model yang diambil gambarnya. Sekarang anaknya-lah gambar yang harus muncul di satu-satunya lensa kamera miliknya. Anaknya adalah gambar favorit yang tidak rela dia edit dengan berbagai macam filter karena gambar yang sebenarnya sudah menunjukkan surga Tuhan baginya yang bisa dia potret dan pamerkan.


Anak-anak adalah ah.. mungkin nyawa hidup mati bagi ibunya.
Ibu yang tidak takut berduel nyawa dengan malaikat maut demi melahirkan anaknya, Ibu yang tidak takut gendut untuk menyimpan keindahan Tuhan didalam rahimnya.

Saya belum tau bagaimana rasanya melihat wajah anak yang berasal dari tubuh saya sendiri, tapi saya sudah mengtahuinya, kalau saya akan jatuh cinta padanya begitu saja. Saya akan jatuh cinta setengah mati padamu, nak.

Ada ribuan keteduhan dibalik mata anak-anak yang riang hanya dengan memakan es krim.
Atau puluhan kali bau pesing yang keluar dari balik celananya, tapi ada senyum mungil untuk menenangkan hati mamanya yang keliyengan mengganti popok.

ahh, anak-anak kalian lucu sekali. Terkutuklah hingga ke neraka orang-orang yang tega merusak masa kecil anak-anak ini dengan kekerasan dan kebodohan yang tidak habis saya pikir.

Para pelaku kekerasan fisik atau kekerasan seksual pada anak-anak harusnya membesarkan kotoran mereka sendiri dan bukan membesarkan anak-anak.
Semoga hukum dan agama tau bagaimana memperlakukan pelaku kejahatan anak-anak yang saat ini sedang marak diperbincangkan. Keselamatan anak-anak saat ini bahkan sudah sampai pada level darurat yang patut diberi perhatian lebih.

Anak-anak adalah masa depan. Jaga mereka seperti menjaga bungkusan hadiah dari Tuhan yang hanya datang sekali-sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar