Kamis, 19 Juli 2012

welcoming me, JAKARTA!

Saat itu 20 Januari 2012, aku merengek seperti anak bayi di depan nenek, mama, papa, tante, semua orang yang mengantar kepergianku. Itu pertama kalinya kesombonganku runtuh seruntuh-runtuhnya. Seakan aku memeluk kakiku sendiri agar tidak pergi meninggalkan rumah hangat ini, tapi ego di kepalaku lebih berat untuk menyuruhku segera naik mobil dan menuju ke bandara.

Sombong sekali aku ingin segera bekerja dan tinggal di tempat yang jauh dan keluar dari kota pahlawan, mencoba mencari tau apa yang ada di luar sana. Sekarang aku dihadapkan pada keinginanku sendiri dan bodohnya aku, pengecutnya aku, aku menangis, merengek seperti anak kecil kehilangan gandengan tangan ketika berada di tempat ramai.

Aku enggan pergi, aku enggan berkemas, aku enggan melangkah, bahkan aku enggan menatap keluargaku lama dan seksama. Aku malu, aku terlalu sombong. Akhirnya aku pergi dengan pesan ’hanya 3 bulan akan kembali’. Sebenarnya itu bukan untuk menenangkan mereka yang menangisi kepergianku ini tapi lebih untuk menenangkan aku yang sesenggukan menahan tangis yang lebih hebat di dalam dadaku.

Nenekku yang masih lincah mencium berulangkali pipiku yang sudah tidak berbedak lagi karena terlalu banyak menangis, tante yang juga mencium pipiku berkata ’be strong, ya!’. Aku mencoba, aku mencoba sekuat tenaga sampai rasanya esofagusku tersumbat hingga aku susah bernafas. Aku melambai lemah di balik kaca mobil kepada nenek, dan tante-tanteku. Selanjutnya adalah perjalanan menuju pemilik surgaku di kakinya, mama. Aku menemuinya di kantor tempatnya bekerja, aku mencium tangannya, menangis meminta maaf – karena sebelumnya kita memang memiliki konflik – aku juga meminta doanya yang kata banyak orang manjur dan sering terkabulkan, aku juga meminta restu dan ijinnya.

Mama mencium pipi dan keningku dengan tetesan air mata yang sama banyak seperti yang aku keluarkan. Aku melambaikan tangan sambil menyeka airmata dengan punggung telapak tanganku. Aku tak sanggup. Entahlah. Rasanya ada putaran ombak di bagian dada terdalam membuat nafasku naik turun. Membuatku bernafas, lalu sedetik kemudian aku lupa cara bernafas.

Aku kembali ke dalam mobil dan menatap jalanan dengan mantap dan mencoba memberi kekuatan untuk diriku sendiri. Aku bersyukur tidak lagi harus menuju kekantor seseorang untuk berpamitan, sudah selesai aku berpamitan dengan beberapa orang. Lalu aku melihat ke arah bangku kanan, aku melihat papaku tengah menyetir mobilnya dengan seksama melihat jalanan menuju bandara. Aku lupa bernafas! Aku lupa satu orang paling berharga ini yang harus aku tinggalkan sejenak untuk bekerja di kota orang. Papa. Aku menunduk, menyembunyikan isakku. Lagi. Kesekian kalinya.

Dering handphone berbunyi, aku melihat nama adik perempuanku. Aku mencoba mengangkatnya dengan suara kocak yang sering aku perlihatkan padanya. Tapi tiba-tiba semuanya buyar ketika adikku di seberang telepon menangis menderu hanya memanggilku terus-terusan ’mbak!’ ’mbak!’ ’mbak!’. Aku bukan lagi bendungan kuat yang bisa menahan airmataku, aku menangis, aku lupa bernafas, aku mengutuk kesombonganku yang ingin pergi jauh. Aku kembali menggunakan trik ’hanya 3 bulan akan kembali’ dan bukan untuk menguatkan adikku tapi lebih untuk menguatkan diriku sendiri.

Bandara terbuka lebar di hadapanku, aku mencari temanku yang juga akan berangkat ke kota yang dipanggil ibukota. Aku menemukannya tengah bercanda gurau dengan teman-temannya. Inilah saatnya memasuki gerbang keberangkatan bandara yang ternganga lebar. Aku mencari sosok papaku untuk ku peluk dengan erat. Inilah perpisahan yang paling membuatku tersayat, terkuliti, terpanggang, dan membuatku mati sejenak. Papaku, papa favorit yang selalu kubanggakan, kuidolakan. Perpisahan ini lah yang akhirnya datang juga, perpisahan yang akan menyisakan petuah-petuah ajaibnya di telingaku. Aku kembali mengucapkan mantra ’hanya 3 bulan akan kembali’ untuk menguatkanku. Tapi aku gagal, aku menangis sesenggukan di pelukan papaku, aku bahkan gagal mengucapkannya, aku menggigit bibirku. Aku tidak mau pergi, aku tidak mau masuk ke bandara, aku tidak mau meninggalkan mereka.

Di pesawat ini, aku mengucapkan kebesaran Tuhanku berkali-kali, aku meminta maaf karena kesombonganku, aku juga menyebut mantra ’hanya 3bulan akan kembali’-ku berulangkali. Setidaknya itu membuatku kelelahan dan tertidur di tengah awan yang setiap kali aku melihatnya maka aku bisa melihat wajah orang-orang yang aku tinggalkan di bawah sana dengan janji ’hanya 3 bulan akan kembali’.

Disinilah aku sekarang, di sebuah kamar kecil sendirian, tengah menikmati hari minggu, kembali mencoba mengutuk kesombonganku dengan menulis ini semua. Disinilah aku menikmati tanggal 15 Juli 2012 sendirian, memikirkan bagaimana aku bisa menghadapi bulan ramadhan yang akan segera tiba tanpa nenek yang selalu membangunkan untuk makan sahur, bagaimana aku bisa menghadapi saat berbuka tanpa minuman dingin dan beberapa gorengan. Aku sama sekali belum bisa membayangkannya bagaimana aku bisa melaluinya tanpa keluargaku disini.

Mantra ’hanya 3 bulan akan kembali’-pun sama sekali tidak berfungsi dan tidak berguna, buktinya aku sudah di kota orang ini selama hampir 6 bulan, dan akan diperpanjang hingga september. How lucky i’am, huh?!

Jika suasana hatiku diibaratkan seluncuran aku pernah ada di atas, sangat atas bahkan aku hampir menyentuh awan dan langit. Aku sangat bahagia ada di kota ini, aku sangat ceria, aku sangat bersyukur. Tapi aku juga pernah berada di lapisan paling bawah seluncuran, aku terkulai tidak berdaya digerogoti oleh rindu yang tajamnya bagai ribuan bahkan miliaran mata pisau yang diasah tiada henti. Bahkan aku sempat berpikir aku akan mati karena rindu. Aku pernah merasa tidak sanggup lagi menyeka rindu yang tergulir setiap saat setiap waktu di bilik hati yang terdalam.

Aku jatuh sakit, aku tersungkur tak berdaya menerima donor darah dari seseorang, ya!, aku masuk rumah sakit beberapa waktu yang lalu, hampir satu minggu aku absen dari kantor dan tidur lelap di kasur rumah sakit. Aku bukannya menabung untuk membahagiakan kedua orangtuaku malah merepoti mereka dengan biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Aku mengutuk kesombonganku.

Tidak ada yang akan tahu kapan seluncuran suasana hatiku akan berada di high point dan low point. Tunggu saja hingga semua ini berkhir, karena tubuhku rasanya harus siap tidak siap menunggu saat terendah dari saat dimana aku akan kembali mengutuki kesombonganku.

Kita tunggu saja bagaimana September akan datang. akankah datang manis atau akan datang dengan tangis. semoga tangis bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar